Once upon a time... saya lagi "gogoleran" santai sambil nonton tivi sama anak sulung, laki-laki, masih duduk di bangku TK. Waktu itu saya masih aktif kerja kantoran. Nggak tahu gimana asalnya, tahu-tahu di televisi tayang acara dangdutan yang cukup seronok. Penyanyinya berbadan montok yang hobi joget jinjit sebelah kaki terus geol-geol (tahu dong siapa). Tiba-tiba si anak ngomong gini, "kalau liat yang kayak gitu ini kakak suka jadi keras kayak mau pipis." sambil menepuk daerah kemaluannya.
Kaget dong saya. Anak sekecil itu udah bisa merasakan stimulan yang mengarah ke ereksi. Tapi saya tahu kalau si anak belum ngerti proses yang sedang terjadi di tubuhnya itu. Saya juga bingung harus gimana ya ngasih tahunya, Tapi, saya menjaga mulut supaya nggak langsung menghardik anak dengan kata-kata: ih jorok atau porno.
Akhirnya, saya ajak anak ngobrol. "Kalau kakak nonton yang begitu titit kakak jadi keras gitu? kayak mau pipis ya? Rasanya gimana?""Nggak enak," jawabnya. "Kalau gitu kakak nggak usah nonton lagi yang seperti itu ya."Ïya," katanya.
Tanpa sepengetahuan anak saya, saya menatar para pengasuh. Memberi peringatan keras sama mereka, supaya kalau jam anak-anak saya melek jangan sekali-kali menyetel acara yang nggak senonoh seperti itu. Bersedia mentaati peraturan atau saya eliminasi.
Itu pertama. Kali kedua. Lagi-lagi pulang kantor, saya selonjoran santai depan tivi. Tiba-tiba si kakak ini duduk di pangkuan saya sambil mencoba mencium bibir saya. Wah, apalagi ini? ketika saya investigasi pelan-pelan sambil ngobrol, akhirnya dia dengan polos bilang kalau sayang sama mama, mau cium kayak di film. Oke. Penataran part 2 sama pengasuh.
Ketiga kalinya, saya memergoki si kakak setiap mandi dan mau tidur megang-megang kemaluannya. Lho?! Ya, terus saya tanya aja kakak ngapain. Dia bilang sih nggak ngapa-ngapain cuma pegang titit. Saya tanya emang kenapa harus pegang-pegang titit. Geli katanya. Saya pancing lagi, rasanya gimana. Dia jawab sih iya lucu sambil ketawa. Saya tahan diri supaya nggak mengeluarkan kata "enak". Saya cuma bilang, kalau tangannya kotor gimana? nanti kumannya numpuk di situ, kalau pipis sakit lagi lho. Dan dia pernah sakit pipis karena sebab lain, jadi dia tahu rasanya nggak enak banget kalau sakit pipis. Klau tangan bersih jadi boleh? (ini cuma di pikiran saya aja), saya tekankan sama dia kita nggak pernah tahu tangan kita bersih sama sekali, selalu ada kuman yang menempel di tangan dan itu jumlahnya nggak ketahuan karena kuman kan kecil banget ukurannya.
Nah, dari tiga contoh pengalaman pribadi tadi, apakah semua Buibu punya kesempatan memergoki anak laki-laki (bisa juga perempuan) dan kemudian bisa ngajak ngobrol anaknya? Saya rasa nggak. Bagaimana dengan Buibu yang belum pernah memergoki anaknya melakukan hal seperti di atas. Apakah anak-anak itu "aman"? Belum tentu...
Apakah Buibu yang belum pernah memergoki anaknya kemudian dengan sengaja mengajak ngobrol anaknya, khusus membahas hal-hal seperti ini? Saya rasa prosentasenya akan terbagi menjadi: Buibu yang aware, Buibu yang malu, Buibu yang menganggap itu tabu untuk dibicarakan dengan anak-anak, Buibu yang merasa nggak perlu sama sekali membicarakan soal sex sejak dini pada anak-anak. Masalahnya, berapa besar prosentase Buibu yang aware ini, bisa jadi jumlahnya kalah jauh dengan jumlah Buibu di kategori terakhir.
Lalu, dari mana anak-anak ini bisa belajar kalau orang tuanya malu untuk menyampaikan? Buibu yang perlu direnungkan adalah, anak-anak lebih tertarik terhadap sesuatu secara visual atau cerita teman-temannya. Bisa bayangkan Bu, kalau anak-anak kita secara diam-diam menonton blue video, dan kita nggak tahu sehingga nggak ada aksi pencegahan, pembekalan pengetahuan, dan penyelesaian. Kebiasaan itu bakal terus terbawa dan menumpuk di otak mereka. Memangnya apa penyebab anak perempuan yang dilecehkan tapi diam aja, apa penyebab anak laki-laki usia SD sudah melecehkan teman perempuannya. Penyebab pelaku perkosaan? Pernah dengar penuturan Ibu Elly Risman, kan?
Kemudian ada seorang penulis yang menuliskan ide "sex education" untuk pembaca dini, tapiii... respons masyarakat jadi salah kaprah.
Saya nggak akan membahas bagaimana isi buku itu jadi viral, sampe diposting akun gosip selebgram sehingga menuai tanggapan yang luaaaaarrr biasa, melebihi tanggapan berita hebohnya DP dan NZ hihihi....
Kalau kata teman sih, "Gimana bisa akun itu dianggap lebih kredibel dibanding latar belakang penulisannnya, maka dengan kekuatan hp jadul para mama jadi esmosi sambil lempar batako panas kagak peduli apapun penjelasannya" bwahahahaha... khas banget dengan kekuatan hp jadul cekrek-cekrek sama lempar batako *lho kok tahu?* 😁
Tapi, lewat postingan ini, saya ingin berbagi opini. Coba membaca buku itu sampai tuntas dulu, jangan memberikan judgement hanya dari satu-dua halaman aja. Coba baca klarifikasi dari penulis dan penerbitnya. Cobaaa... membaca kalimat-kalimat itu dari pov anak-anak, jangan dari pov kita sebagai orang dewasa.
Perbedaannya:
kalau dari pov anak-anak: eh iya aku suka kayak gitu, ah ternyata kata mama kalau kayak gitu nanti bisa bla bla bla...
kalau dari pov orang dewasa ya jatohnya jadi tutorial 😋sebab apa? ya otak kita kan udah merekam urusan bagian antara perut dan lutut itu media untuk mendatangkan kenikmatan surga dunia. Dengan segala step-stepnya, stimulannya, dan endingnya. Ya, kan?
Tapi, anak-anak? nggak ke sana Buibu pikirannya. Mereka baru sampai pada kalau melakukan itu ada rasa yang lain. Enak, tapi kalau bahasa anak saya lucu, geli... udah sampai di situ aja. Mereka belum tahu kalau yang seperti itu termasuk kedalam kegiatan seksual yang belum pantas dilakukan anak-anak. Belum tahu kalau yang seperti itu namanya masturbasi atau onani. Belum tahu kalau itu cabul, nggak senonoh, jorok, tabu.
Kalau akhirnya mereka tahu kata-kata atau istilah-istilah yang saya sebutkan tadi, dari mana? Dari orang tua yang menyuntikkan kata-kata tersebut pada anak-anak, atau dari teman-temannya yang sudah mendapat suntikan kata-kata tersebut dari orang tuanya atau dari orang dewasa lainnya.
Anak-anak baru sampai menyadari kalau melakukan itu adalah permainan baru yang mengasyikkan. Ya wajar, karena setiap hal baru yang anak-anak alami bagi mereka adalah permainan dan melakukannya adalah seperti bermain saja. Tetapi, begitu kalimat ini: "permainan yang asyik" diserap oleh otak dewasa, konotasinya jadi tanda kutip kan Buibu. Kata permainan di sini dimaknai sebagai permainan orang dewasa. Permainan cinta dan sebangsanya sebagaimana yang sering dikonotasikan di novel-novel percintaan khas Fredy S atau Barbara Cartland, jaman sekarang mah semacam Harlequin kali ya.
Maka dari itu Buibu, kalau kita memergoki anak melakukan kegiatan seksual tanpa disadarinya, hindari untuk menghardik atau memarahi dengan keras, karena justru bisa menyebabkan trauma dan meninggalkan rasa malu. Kalau ada unsur pembangkangan dalam dirinya, bisa jadi si anak justru akan mengulangi lagi secara diam-diam.
*Balik lagi ke buku kontroversial itu*
Jujur saja, ketika membaca kalimat-kalimatnya saya juga sempat merasa risi, tapi kemudian saya menyadari karena otak saya masih setelan orang dewasa. Ketika saya mengubah posisi saya menjadi anak-anak (seperti ketika saya sedang menulis buku untuk anak-anak) saya rasa biasa aja. Dan orang tua perlu berlatih, ketika membacakan buku ini untuk anak-anak nada suaranya jangan terdengar risi atau geli malah. Syusye lho...
Takut anak-anak jadi meniru adegan di buku itu? Saya ingin bilang begini, kalau anak-anak membaca buku itu sendirian bakal absurd, mereka nggak akan tertarik karena out of imagination mereka. Beda dengan cerita seorang anak yang tiba-tiba bisa terbang tanpa punya sayap dan kemudian dibumbui dengan dunia di atas bumi yang sangat menyenangkan, bisa jadi anak justru ingin meniru adegan terbang tersebut. Lebih bahaya kan.
Namun yah, ibarat nasi sudah menjadi bubur, yang bisa kita lakukan adalah menjadikan peristiwa ini menjadi pembelajaran. Kedepannya semoga semua pihak terkait bisa duduk bersama dan berdiskusi dengan bijak, untuk memutuskan apakah sebuah buku (untuk anak) yang menjadi kontroversi ini memang pantas untuk dicap sebagai buku yang nggak layak baca, atau malah sebaliknya ada pesan positif di dalamnya.
Seperti juga yang diusulkan seorang teman dari KPK, peristiwa ini sepertinya harus membuat kami penulis bacaan anak lebih "terjaga" lagi, dan perlu sekali diadakan forum diskusi untuk merumuskan learning focus tentang informasi atau kompetensi apa yang perlu diketahui anak-anak di abad 21 ini, bagaimana cara penyampaiannya dan tools apa aja yang digunakan. Metode semacam ini pernah dipraktekkan KPK bekerjasama dengan Forum Penulis Bacaan Anak beberapa tahun silam, dan sukses menerbitkan buku seri Tunas Integritas, sebagai bahan pembelajaran anti korupsi untuk anak-anak usia dini lewat cerita.
Begitulah kira-kira ya, Buibu... semoga sharing saya ini yang (tampak) pabaliut bisa sedikit mencerahkan. Kami, penulis bacaan anak, no joke lho... setiap buku yang kami tulis sudah melalui pemikiran, pertimbangan, dan diskusi yang nggak sebentar. Tak ada dari kami yang bakal sengaja menyisipkan pengetahuan-pengetahuan yang nggak layak untuk konsumsi anak-anak. Saya sangat sedih ketika buku ini menjadi kontroversi dan dicap buku cabul oleh lembaga pengawasan anak. Semoga semua pihak berwenang segera bisa meredam opini yang kurang tepat itu dan ada penyelesaian yang membuat tenang.
Love,